Siapa yang tak mengenal seorang perempuan pejuang kemerdekaan bagi
kaumnya, diantara pejuang-pejuang wanita yang tercatat dalam sejarah
Indonesia, Cut Nyak Dhien memberikan cacatan emas yang sangat tebal
sebagai seorang istri, ibu, dan pejuang. Tidak hanya rakyat Aceh,
rakyat di luar Aceh pun sangat bercermin atas perjuangan beliau, dalam
kondisi sakit dan tertawan pun terus menggerakkan perjuangan Rakyat
Aceh terhadap kolonial Belanda.
Cut nyak dien adalah salah seorang pahlawan nasional wanita
Indonesia. Anda tahu kan? ditempat inilah beliau dimakamkan. Makam ini
berada di atas bukit kecil dekat kantor pemerintahan Sumedang yang
berlokasi di gunung puyuh kecamatan sumedang selatan.
Makam
ini berada di atas bukit kecil dekat kantor pemerintahan sumedang yang
berlokasi di gunung puyuh kecamatan sumedang selatan. Diceritakan bahwa
cut nyak dien diasingkan dari Aceh oleh pemerintah kolonial Belanda ke
Sumedang hingga beliau meninggal dunia. Cut nyak dien adalah salah
seorang pahlawan nasional wanita Indonesia.
Di Sumedang tak banyak orang tahu perempuan ini. Tua renta dan bermata
rabun. Pakaiannya lusuh, dan hanya itu saja yang melekat di tubuhnya.
Sebuah tasbih tak lepas dari tangannya, juga sebuah periuk nasi dari
tanah liat. Dia datang ke Sumedang bersama dua pengikutnya sebagai
tahanan politik Belanda, yang ingin mengasingkannya dari medan
perjuangannya di Aceh pada 11 Desember 1906.
Perempuan tua itu lalu dititipkan kepada Bupati Sumedang Pangeran Aria Suriaatmaja, yang digelari Pangeran Makkah. Melihat perempuan yang amat taat beragama itu, Bupati tak menempatkannya di penjara, tetapi di rumah H. Ilyas, seorang tokoh agama, di belakang Kaum (masjid besar Sumedang). Di rumah itulah perempuan itu tinggal dan dirawat.
Sebagai tahanan politik, perempuan yang kemudian oleh masyarakat digelari ibu Perbu (Ratu) itu, jarang keluar rumah. Tapi banyak sekali ibu dan anak setempat yang datang mengunjunginya, untuk belajar mengaji meskipun dalam keadaan mata yang sudah rabun --karena banyak sekali ayat suci yang dihafalnya. Kegiatan lain selain mengajar mengaji hanyalah berdzikir dan beribadah di sebuah ruangan yang tidak terlalu luas. Ia terus bertaqarrub kepada Sang Pencipta serta menikmatinya, seolah meninggalkan keinginan duniawi. Di antara mereka yang datang banyak membawakan makanan atau pakaian, selain karena mereka menaruh hormat dan simpati yang besar, juga karena Ibu Perbu tak bersedia menerima apapun yang diberikan oleh Belanda.
Perempuan tua itu lalu dititipkan kepada Bupati Sumedang Pangeran Aria Suriaatmaja, yang digelari Pangeran Makkah. Melihat perempuan yang amat taat beragama itu, Bupati tak menempatkannya di penjara, tetapi di rumah H. Ilyas, seorang tokoh agama, di belakang Kaum (masjid besar Sumedang). Di rumah itulah perempuan itu tinggal dan dirawat.
Sebagai tahanan politik, perempuan yang kemudian oleh masyarakat digelari ibu Perbu (Ratu) itu, jarang keluar rumah. Tapi banyak sekali ibu dan anak setempat yang datang mengunjunginya, untuk belajar mengaji meskipun dalam keadaan mata yang sudah rabun --karena banyak sekali ayat suci yang dihafalnya. Kegiatan lain selain mengajar mengaji hanyalah berdzikir dan beribadah di sebuah ruangan yang tidak terlalu luas. Ia terus bertaqarrub kepada Sang Pencipta serta menikmatinya, seolah meninggalkan keinginan duniawi. Di antara mereka yang datang banyak membawakan makanan atau pakaian, selain karena mereka menaruh hormat dan simpati yang besar, juga karena Ibu Perbu tak bersedia menerima apapun yang diberikan oleh Belanda.
Keadaan ini terus berlangsung hingga 6 November 1908, saat Ibu Perbu
meninggal dunia. Dimakamkan secara hormat di Gunung Puyuh, sebuah
komplek pemakaman para bangsawan pangeran Sumedang, tak jauh dari pusat
kota Sumedang. Sampai wafatnya, masyarakat Sumedang belum tahu siapa
sesungguhnya perempuan yang banyak memberikan manfaat bagi masyarakat
itu, bahkan hingga kemerdekaan Indonesia. Ketika masyarakat Sumedang beralih generasi dan melupakan Ibu Perbu,
pada tahun 60-an berdasarkan keterangan dari pemerintah Belanda baru
diketahui bahwa Tjoet Njak Dhien, seorang pahlawan wanita Aceh yang
terkenal telah diasingkan ke Pulau Jawa, Sumedang, Jawa Barat.
Pengasingan itu berdasarkan Surat Keputusan No. 23 (Kolonial Verslag
1907:12). Akhirnya dengan mudah dapat dipastikan bahwa Ibu Perbu tak
lain adalah Tjoet Njak Dhien yang diasingkan Belanda bersama seorang
panglima berusia 50 tahun dan seorang kemenakannya bernama Teungku Nana
berusia 15 tahun.
Pada 2 Mei 1964, melalui Surat Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 106, Tjoet Njak Dien ditetapkan sebagai Pahlawan Kemerdekaan Nasional, sebagai penghargaan terhadap jasa-jasanya yang besar. Makamnya kemudian dipugar dan dibangun sebuah meunansah (mushala) di dekatnya. Menjelang akhir hidupnya, di Sumedang, di daerah yang sangat asing baginya, Tjoet Njak Dien masih juga berperang dalam pertempuran lain, yakni perlawanan terhadap penjajahan kebodohan.
Pada 2 Mei 1964, melalui Surat Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 106, Tjoet Njak Dien ditetapkan sebagai Pahlawan Kemerdekaan Nasional, sebagai penghargaan terhadap jasa-jasanya yang besar. Makamnya kemudian dipugar dan dibangun sebuah meunansah (mushala) di dekatnya. Menjelang akhir hidupnya, di Sumedang, di daerah yang sangat asing baginya, Tjoet Njak Dien masih juga berperang dalam pertempuran lain, yakni perlawanan terhadap penjajahan kebodohan.
Di komplek makam Gunung Puyuh terdapat beberapa kelompok Makam
Keluarga, sehingga diperlukan penunjuk arah dan papan nama untuk
masing-masing kelompok Makam tersebut. Posisi makam Cut Nyak Dhien
berada di Kelompok Makam Keluarga H. Husna, berada di lereng gunung.
Ketika memasuki komplek makam jalan akan menanjak kemudia turun untuk
menuju makam Cut Nyak Dhien tersebut.
Pada dinding makam sebelah kiri terdapat tulisan "Karena
Jihadmu Perjuangan Aceh beroleh kemenangan dari Belanda kembali
ketangan rakyat sendir kegirangan. Itulah sebab sebagai kenangan , kami
teringat terangan-angan, akan budiman Pahlawan Junjungan, Pahlawan
Wanita berjiwa Kayangan". Ditulis menggunakan bahasa melayu
sebelum ejaan yang disempurnakan (EYD), disebelahnya dengan menggunakan
tulisan arab gundul (berbahasa melayu juga), sedangkan dinding kanan
menggunakan bahasa rakyat Aceh.
Sedangkan pada batu nisan tertulis sebagai berikut:
Sedangkan pada batu nisan tertulis sebagai berikut:
"Disinilah
dimakamkan Pahlawan Nasional: Tjut Nya' Dien, Istri Teuku Umar Djohan,
Panglima Perang Besar dalam Perang Aceh. Selama hidupnya Cut Nyak Dhien
telah berjuang mati-matian sebagai seorang Pahlawan Putri yang setia di
samping suaminya menentang Belanda dalam Perang Aceh, setelah suaminya
wafat Cut Nyak Dhien meneruskan jihad memimpin perjuangan sehingga
beliau tertawan oleh Belanda pada tanggal 6 November 1905 di Aceh
Barat. Cut Nyak Dhien dilahirkan di Aceh pada tahun 1848 dan wafat
dalam pembuangan di Sumedang (Jawa Barat) ada tanggal 6 November 1908.
Semoga Allah memberi berkah kepada arwah suci Pahlawan Putri yang amat
berjasa dan setia ini. Amien".
Dsadur dari berbagai sumber.
2 komentar :
Wanita hebat
Wanita hebat
Post a Comment