Baduy, atau lebih dikenal dengan sebutan Masyarakat Kanekes,
adalah suatu kelompok masyarakat adat sunda yang tinggal di pedalaman Kabupaten
Lebak, yang kebetulan tetangga Kabupaten dimana saya tinggal, lebih tepatnya
desa kanekes, sebuah desa di kaki pegunungan Kendeng, kecamatan Leuwidamar,
Kabupaten Lebak, Banten. Jika sobat dari arah Jakarta, membutuhkan waktu
sekitar 6-8 jam perjalanan. Masyarakat Kanekes masih memiliki hubungan sejarah dengan
orang Sunda.
Penampilan fisik dan bahasa mereka mirip dengan orang-orang Sunda pada umumnya. Satu-satunya perbedaan adalah kepercayaan dan cara hidup mereka. Orang Kanekes menutup diri dari pengaruh dunia luar dan secara ketat menjaga cara hidup mereka yang tradisional, sedangkan orang Sunda lebih terbuka kepada pengaruh asing dan mayoritas memeluk Islam. Secara umum, suku baduy terbagi menjadi tiga kelompok, yakni Tangtu, Panamping, dan Dangka. Ketiga suku tersebut memiliki karakteristik yang berbeda satu sama lain dalam hal penerapan adat istiadat.
Penampilan fisik dan bahasa mereka mirip dengan orang-orang Sunda pada umumnya. Satu-satunya perbedaan adalah kepercayaan dan cara hidup mereka. Orang Kanekes menutup diri dari pengaruh dunia luar dan secara ketat menjaga cara hidup mereka yang tradisional, sedangkan orang Sunda lebih terbuka kepada pengaruh asing dan mayoritas memeluk Islam. Secara umum, suku baduy terbagi menjadi tiga kelompok, yakni Tangtu, Panamping, dan Dangka. Ketiga suku tersebut memiliki karakteristik yang berbeda satu sama lain dalam hal penerapan adat istiadat.
1. Kanekes Tangtu ( Baduy Dalam ) adalah bagian dari keseluruhan orang
Kanekes. Tidak seperti Kanekes Luar, warga Kanekes Dalam masih memegang teguh
adat-istiadat nenek moyang mereka. Sebagian peraturan yang dianut oleh suku Kanekes Dalam antara lain:
- Tidak diperkenankan menggunakan kendaraan untuk
sarana transportasi
- Tidak diperkenankan menggunakan alas kaki
- Pintu rumah harus menghadap ke utara/selatan (kecuali rumah sang Pu'un atau ketua adat)
- Larangan menggunakan alat elektronik ( samasekali tak tersentuh teknologi)
- Menggunakan kain berwarna hitam/putih sebagai pakaian yang ditenun dan dijahit sendiri serta tidak diperbolehkan menggunakan pakaian modern.
2. Kanekes Panamping (Baduy Luar),
yang tinggal di berbagai kampung yang tersebar mengelilingi wilayah Kanekes
Dalam, seperti Cikadu, Kaduketuk, Kadukolot, Gajeboh, Cisagu, dan lain
sebagainya. Masyarakat Kanekes Luar berciri khas mengenakan pakaian dan ikat
kepala berwarna hitam. Kanekes Luar merupakan orang-orang yang telah keluar
dari adat dan wilayah Kanekes Dalam. Ada beberapa hal yang menyebabkan
dikeluarkannya warga Kanekes Dalam ke Kanekes Luar:
- Mereka telah melanggar adat masyarakat Kanekes Dalam
- Berkeinginan untuk keluar dari Kanekes Dalam
- Menikah dengan anggota Kanekes Luar
Ciri-ciri masyarakat orang
Kanekes Luar:
- Mereka telah mengenal teknologi, seperti peralatan elektronik, meskipun penggunaannya tetap merupakan larangan untuk setiap warga Kanekes, termasuk warga Kanekes Luar. Mereka menggunakan peralatan tersebut dengan cara sembunyi-sembunyi agar tidak ketahuan pengawas dari Kanekes Dalam.
- Proses pembangunan rumah penduduk Kanekes Luar telah menggunakan alat-alat bantu, seperti gergaji, palu, paku, dll, yang sebelumnya dilarang oleh adat Kanekes Dalam.
- Menggunakan pakaian adat dengan warna hitam atau biru tua (untuk laki-laki), yang menandakan bahwa mereka tidak suci. Kadang menggunakan pakaian modern seperti kaos oblong dan celana jeans.
- Menggunakan peralatan rumah tangga modern, seperti kasur, bantal, piring & gelas kaca & plastik.
- Mereka tinggal di luar wilayah Kanekes Dalam.
3. Kanekes Dangka
Mereka tinggal di luar wilayah Kanekes, dan pada saat ini tinggal 2 kampung
yang tersisa, yaitu Padawaras (Cibengkung) dan Sirahdayeuh (Cihandam). Kampung
Dangka tersebut berfungsi sebagai semacam buffer zone atas pengaruh dari luar
Kepercayaan masyarakat Kanekes yang
disebut sebagai Sunda Wiwitan berakar pada pemujaan kepada arwah nenek moyang
(animisme) yang pada perkembangan selanjutnya juga dipengaruhi oleh agama
Buddha, Hindu, dan Islam. Inti kepercayaan tersebut ditunjukkan dengan adanya
pikukuh atau ketentuan adat mutlak yang dianut dalam kehidupan sehari-hari orang
Kanekes. Isi terpenting dari 'pikukuh' (kepatuhan) Kanekes tersebut adalah
konsep "tanpa perubahan apa pun", atau perubahan sesedikit mungkin:
"Lojor
heunteu beunang dipotong, pendek heunteu beunang disambung"(Panjang tidak
bisa/tidak boleh dipotong, pendek tidak bisa/tidak boleh disambung)
Tabu tersebut dalam kehidupan
sehari-hari diinterpretasikan secara harafiah. Di bidang pertanian, bentuk
pikukuh tersebut adalah dengan tidak mengubah kontur lahan bagi ladang,
sehingga cara berladangnya sangat sederhana, tidak mengolah lahan dengan bajak,
tidak membuat terasering, hanya menanam dengan tugal, yaitu sepotong bambu yang
diruncingkan. Pada pembangunan rumah juga kontur permukaan tanah dibiarkan apa
adanya, sehingga tiang penyangga rumah Kanekes seringkali tidak sama panjang.
Perkataan dan tindakan mereka pun jujur, polos, tanpa basa-basi, bahkan dalam
berdagang mereka tidak melakukan tawar-menawar.
Objek kepercayaan terpenting bagi masyarakat Kanekes adalah Arca Domas, yang lokasinya dirahasiakan dan dianggap paling sakral. Orang Kanekes mengunjungi lokasi tersebut untuk melakukan pemujaan setahun sekali pada bulan Kalima, yang pada tahun 2003 bertepatan dengan bulan Juli. Hanya Pu'un atau ketua adat tertinggi dan beberapa anggota masyarakat terpilih saja yang mengikuti rombongan pemujaan tersebut. Di kompleks Arca Domas tersebut terdapat batu lumpang yang menyimpan air hujan. Apabila pada saat pemujaan ditemukan batu lumpang tersebut ada dalam keadaan penuh air yang jernih, maka bagi masyarakat Kanekes itu merupakan pertanda bahwa hujan pada tahun tersebut akan banyak turun, dan panen akan berhasil baik. Sebaliknya, apabila batu lumpang kering atau berair keruh, maka merupakan pertanda kegagalan panen.
Bagi sebagian kalangan, berkaitan dengan keteguhan masyarakatnya, kepercayaan yang dianut masyarakat adat Kanekes ini mencerminkan kepercayaan keagamaan masyarakat Sunda secara umum sebelum masuknya Islam.
Objek kepercayaan terpenting bagi masyarakat Kanekes adalah Arca Domas, yang lokasinya dirahasiakan dan dianggap paling sakral. Orang Kanekes mengunjungi lokasi tersebut untuk melakukan pemujaan setahun sekali pada bulan Kalima, yang pada tahun 2003 bertepatan dengan bulan Juli. Hanya Pu'un atau ketua adat tertinggi dan beberapa anggota masyarakat terpilih saja yang mengikuti rombongan pemujaan tersebut. Di kompleks Arca Domas tersebut terdapat batu lumpang yang menyimpan air hujan. Apabila pada saat pemujaan ditemukan batu lumpang tersebut ada dalam keadaan penuh air yang jernih, maka bagi masyarakat Kanekes itu merupakan pertanda bahwa hujan pada tahun tersebut akan banyak turun, dan panen akan berhasil baik. Sebaliknya, apabila batu lumpang kering atau berair keruh, maka merupakan pertanda kegagalan panen.
Bagi sebagian kalangan, berkaitan dengan keteguhan masyarakatnya, kepercayaan yang dianut masyarakat adat Kanekes ini mencerminkan kepercayaan keagamaan masyarakat Sunda secara umum sebelum masuknya Islam.
Bahasa Suku Baduy
Bahasa yang mereka gunakan adalah Bahasa Sunda dialek Sunda–Banten.
Untuk berkomunikasi dengan penduduk luar mereka lancar menggunakan
Bahasa Indonesia, walaupun mereka tidak mendapatkan pengetahuan
tersebut dari sekolah. Orang Kanekes ‘dalam’ tidak mengenal budaya
tulis, sehingga adat istiadat, kepercayaan/agama, dan cerita nenek
moyang hanya tersimpan di dalam tuturan lisan saja.
Dsadur dari berbagai sumber.
0 komentar :
Post a Comment