Suku Asmat adalah sebuah suku di Papua.
Suku Asmat dikenal dengan hasil ukiran kayunya yang unik. Populasi suku
Asmat terbagi dua yaitu mereka yang tinggal di pesisir pantai dan mereka yang tinggal di bagian pedalaman. Kedua populasi ini saling berbeda satu sama lain dalam hal dialek,
cara hidup, struktur sosial dan ritual. Populasi pesisir pantai
selanjutnya terbagi ke dalam dua bagian yaitu suku Bisman yang berada
di antara sungai Sinesty dan sungai Nin serta suku Simai.
Suku Asmat adalah nama dari sebuah suku terbesar dan paling terkenal
diantara sekian banyak suku yang ada di Papua, Irian Jaya, Indonesia.
Salah satu hal yang membuat suku asmat cukup dikenal adalah hasil
ukiran kayu tradisional yang sangat khas. Beberapa ornamen / motif yang
seringkali digunakan dan menjadi tema utama dalam proses pemahatan
patung yang dilakukan oleh penduduk suku asmat adalah mengambil tema
nenek moyang dari suku mereka, yang biasa disebut mbis. Namun tak
berhenti sampai disitu, seringkali juga ditemui ornamen / motif lain
yang menyerupai perahu atau wuramon, yang mereka percayai sebagai
simbol perahu arwah yang membawa nenek moyang mereka di alam kematian.
Bagi penduduk asli suku asmat, seni ukir kayu lebih merupakan sebuah
perwujudan dari cara mereka dalam melakukan ritual untuk mengenang
arwah para leluhurnya.
Wilayah yang mereka tinggali sangat unik.Dataran coklat lembek yang
tertutup oleh jaring laba-laba sungai.Wilayah yang ditinggali Suku
Asmat ini telah menjadi Kabupaten sendiri dengan nama Kabupaten Asmat
dengan 7 Kecamatan atau Distrik.Hampir setiap hari hujan turun dengan
curah 3000-4000 milimeter/tahun.Setiap hari juga pasang surut laut
masuk kewilayah ini,sehingga tidak mengherankan kalau permukaan tanah
sangat lembek dan berlumpur.Jalan hanya dibuat dari papan kayu yang
ditumpuk diatas tanah yang lembek.Praktis tidak semua kendaraan
bermotor bisa lewat jalan ini.Orang yang berjalan harus berhati-hati
agar tidak terpeleset,terutama saat hujan.
Pertentangan
Ada banyak pertentangan di antara desa berbeda Asmat. Yang paling
mengerikan adalah cara yang dipakai Suku Asmat untuk membunuh musuhnya.
Ketika musuh dibunuh, mayatnya dibawa ke kampung, kemudian dipotong dan
dibagikan kepada seluruh penduduk untuk dimakan bersama. Mereka
menyanyikan lagu kematian dan memenggalkan kepalanya. Otaknya dibungkus
daun sago yang dipanggang dan dimakan. Namun hal ini sudah jarang
terjadi bahkan hilang resmi dari ingatan.
Persebaran
Suku asmat tersebar dan mendiami wilayah disekitar pantai laut
arafuru dan pegunungan jayawijaya, dengan medan yang lumayan berat
mengingat daerah yang ditempati adalah hutan belantara, dalam kehidupan
suku Asmat, batu yang biasa kita lihat dijalanan ternyata sangat
berharga bagi mereka. Bahkan, batu-batu itu bisa dijadikan sebagai mas
kawin. Semua itu disebabkan karena tempat tinggal suku Asmat yang
membetuk rawa-rawa sehingga sangat sulit menemukan batu-batu jalanan
yang sangat berguna bagi mereka untuk membuat kapak, palu, dan
sebagainya.
Kampung Asmat
Sekarang biasanya, kira-kira 100 sampai 1000 orang hidup di satu
kampung. Setiap kampung punya satu rumah Bujang dan banyak rumah
keluarga. Rumah Bujang dipakai untuk upacara adat dan upacara
keagamaan. Rumah keluarga dihuni oleh dua sampai tiga keluarga, yang
mempunyai kamar mandi dan dapur sendiri. Hari ini, ada kira-kira 70.000
orang Asmat hidup di Indonesia. Mayoritas anak-anak Asmat sedang
bersekolah.
Ciri Fisik
Penduduk Asmat pada umumnya memiliki ciri fisik yang khas,berkulit
hitam dan berambut keriting. Tubuhnya cukup tinggi. Rata-rata tinggi
badan orang Asmat wanita sekitar 162cm dan tinggi badan laki-laki
mencapai 172cm.
Mata Pencaharian
Kebiasaan bertahan hidup dan mencari makan antara suku yang satu
dengan suku yang lainnya di wilayah Distrik Citak-Mitak ternyata hampir
sama. suku asmat darat, suku citak dan suku mitak mempunyai kebiasaan
sehari-hari dalam mencari nafkah adalah berburu binatang hutan separti,
ular, kasuari< burung< babi hutan dll. mereka juga selalu meramuh
/ menokok sagu sebagai makan pokok dan nelayan yakni mencari ikan dan
udang untuk dimakan. kehidupan dari ketiga suku ini ternyata telah
berubah.
Sehari-hari orang Asmat bekerja dilingkungan sekitarnya,terutama
untuk mencari makan, dengan cara berburu maupun berkebun, yang tentunya
masih menggunakan metode yang cukup tradisional dan sederhana. Masakan
suku Asmat tidak seperti masakan kita. Masakan istimewa bagi mereka
adalah ulat sagu. Namun sehari-harinya mereka hanya memanggang ikan
atau daging binatang hasil buruan.
Masakan suku Asmat tidak seperti masakan kita. Masakan istimewa bagi
mereka adalah ulat sagu. Namun sehari-harinya mereka hanya memanggang
ikan atau daging binatang hasil buruan.
Dalam kehidupan suku Asmat “batu” yang biasa kita lihat dijalanan
ternyata sangat berharga bagi mereka. Bahkan, batu-batu itu bisa
dijadikan sebagai mas kawin. Semua itu disebabkan karena tempat tinggal
suku Asmat yang membetuk rawa-rawa sehingga sangat sulit menemukan
batu-batu jalanan yang sangat berguna bagi mereka untuk membuat kapak,
palu, dan sebagainya.
Makanan Pokok
Makanan Pokok orang Asmat adalah sagu,hampir setiap hari mereka
makan sagu yang dibuat jadi bulatan-bulatan yang dibakar dalam bara
api.Kegemaran lain adalah makan ulat sagu yang hidup dibatang pohon
sagu,biasanya ulat sagu dibungkus dengan daun nipah,ditaburi sagu,dan
dibakar dalam bara api.Selain itu sayuran dan ikan bakar dijadikan
pelengkap. Namun demikian yang memprihatinkan adalah masalah sumber air
bersih.Air tanah sulit didapat karena wilayah mereka merupakan tanah
berawa.Terpaksa menggunakan air hujan dan air rawa sebagai air bersih
untuk kebutuhan sehari-hari.
Pola Hidup
Satu hal yang patut ditiru dari pola hidup penduduk asli suku
asmat,mereka merasa dirinya adalah bagian dari alam, oleh karena itulah
mereka sangat menghormati dan menjaga alam sekitarnya, bahkan, pohon
disekitar tempat hidup mereka dianggap menjadi gambaran dirinya. Batang
pohon menggambarkan tangan, buah menggambarkan kepala, dan akar
menggambarkan kaki mereka
Ada istiadat suku asmat
Suku Asmat adalah suku yang menganut Animisme, sampai dengan
masuknya para Misionaris pembawa ajaran baru, maka mereka mulai
mengenal agama lain selain agam nenek-moyang. Dan kini, masyarakat suku
ini telah menganut berbagai macam agama, seperti Protestan, Khatolik
bahkan Islam. Seperti masyarakat pada umumnya, dalam menjalankan proses
kehidupannya, masyarakat Suku Asmat pun, melalui berbagai proses,
yaitu :
- Kehamilan, selama proses ini berlangsung, bakal generasi penerus dijaga dengan baik agar dapat lahir dengan selamat dengan bantuan ibu kandung alau ibu mertua.
- Kelahiran, tak lama setelah si jabang bayi lahir dilaksanakan upacara selamatan secara sederhana dengan acara pemotongan tali pusar yang menggunakan Sembilu, alat yang terbuat dari bambu yang dilanjarkan. Selanjutnya, diberi ASI sampai berusia 2 tahun atau 3 tahun.
- Pernikahan, proses ini berlaku bagi seorang baik pria maupun wanita yang telah berusia 17 tahun dan dilakukan oleh pihak orang tua lelaki setelah kedua belah pihak mencapai kesepakatan dan melalui uji keberanian untuk membeli wanita dengan mas kawinnya piring antik yang berdasarkan pada nilai uang kesepakatan kapal perahu Johnson, bila ternyata ada kekurangan dalam penafsiran harga perahu Johnson, maka pihak pria wajib melunasinya dan selama masa pelunasan pihak pria dilarang melakukan tindakan aniaya walaupun sudah diperbolehkan tinggal dalam satu atap.
- Kematian, bila kepala suku atau kepala adat yang meninggal, maka jasadnya disimpan dalam bentuk mumi dan dipajang di depan joglo suku ini, tetapi bila masyarakat umum, jasadnya dikuburkan. Proses ini dijalankan dengan iringan nyanyian berbahasa Asmat dan pemotongan ruas jari tangan dari anggota keluarga yang ditinggalkan.
Unik
Dalam memenuhi kebutuhan biologisnya, baik kaum pria maupun wanita
melakukannya di ladang atau kebun, disaat prianya pulang dari berburu
dan wanitanya sedang berkerja di ladang. Selanjutnya, ada peristiwa
yang unik lainnya dimana anak babi disusui oleh wanita suku ini hingga
berumur 5 tahun.
Rumah Adat
Rumah Tradisional Suku Asmat adalah Jeu dengan panjang sampai 25
meter.Sampai sekarang masih dijumpai Rumah Tradisional ini jika kita
berkunjung ke Asmat Pedalaman.Bahkan masih ada juga diantara mereka
yang membangun rumah tinggal diatas pohon.
Agama
Masyarakat Suku Asmat beragama Katolik,Protestan,dan Animisme yakni
suatu ajaran dan praktek keseimbangan alam dan penyembahan kepada roh
orang mati atau patung. Bagi Suku Asmat ulat sagu merupakan bagian
penting dari ritual mereka.Setiap ritual ini diadakan,dapat
dipastikan,kalau banyak sekali ulat yang dipergunakan. (Kal
Muller,Mengenal Papua,2008,hal.31)
Kepercayaan Dasar
Adat istiadat suku Asmat mengakui dirinya sebagai anak dewa yang
berasal dari dunia mistik atau gaib yang lokasinya berada di mana
mentari tenggelam setiap sore hari. Mereka yakin bila nenek moyangnya
pada jaman dulu melakukan pendaratan di bumi di daerah pegunungan.
Selain itu orang suku Asmat juga percaya bila di wilayahnya terdapat
tiga macam roh yang masing-masing mempunyai sifat baik, jahat dan yang
jahat namun mati. Berdasarkan mitologi masyarakat Asmat berdiam di
Teluk Flamingo, dewa itu bernama Fumuripitis. Orang Asmat yakin bahwa
di lingkungan tempat tinggal manusia juga diam berbagai macam roh yang
mereka bagi dalam 3 golongan.
- Yi – ow atau roh nenek moyang yang bersifat baik terutama bagi keturunannya.
- Osbopan atau roh jahat dianggap penghuni beberapa jenis tertentu.
- Dambin – Ow atau roh jahat yang mati konyol.
Kehidupan orang Asmat banyak diisi oleh upacara-upacara. Upacara
besar menyangkut seluruh komuniti desa yang selalu berkaitan dengan
penghormatan roh nenek moyang seperti berikut ini :
- Mbismbu (pembuat tiang)
- Yentpokmbu (pembuatan dan pengukuhan rumah yew)
- Tsyimbu (pembuatan dan pengukuhan perahu lesung)
- Yamasy pokumbu (upacara perisai)
- Mbipokumbu (Upacara Topeng)
Suku ini percaya bahwa sebelum memasuki surga, arwah orang yang
sudah meninggal akan mengganggu manusia. Gangguan bisa berupa penyakit,
bencana, bahkan peperangan. Maka, demi menyelamatkan manusia serta
menebus arwah, mereka yang masih hidup membuat patung dan menggelar
pesta seperti pesta patung bis (Bioskokombi), pesta topeng, pesta
perahu, dan pesta ulat-ulat sagu.
Roh-roh dan Kekuatan Magis
- Roh setan
Kehidupan orang-orang Asmat sangat terkait erat dengan alam
sekitarnya. Mereka memiliki kepercayaan bahawa alam ini didiami oleh
roh-roh, jin-jin, makhluk-makhluk halus, yang semuanya disebut dengan
setan. Setan ini digolongkan ke dalam 2 kategori :
1. Setan yang membahayakan hidup Setan yang membahayakan hidup ini
dipercaya oleh orang Asmat sebagai setan yang dapat mengancam nyawa dan
jiwa seseorang. Seperti setan perempuan hamil yang telah meninggal atau
setan yang hidup di pohon beringin, roh yang membawa penyakit dan
bencana (Osbopan).
2. Setan yang tidak membahayakan hidup Setan dalam kategori ini
dianggap oleh masyarakat Asmat sebagai setan yang tidak membahayakan
nyawa dan jiwa seseorang, hanya saja suka menakut-nakuti dan mengganggu
saja. Selain itu orang Asmat juga mengenal roh yang sifatnya baik
terutama bagi keturunannya., yaitu berasal dari roh nenek moyang yang
disebut sebagai yi-ow
- Kekuatan magis dan Ilmu sihir
Orang Asmat juga percaya akan adanya kekuatan-kekuatan magis yang
kebanyakan adalah dalam bentuk tabu. Banyak hal -hal yang pantang
dilakukan dalam menjalankan kegiatan sehari-hari, seperti dalam hal
pengumpulan bahan makanan seperti sagu, penangkapan ikan, dan pemburuan
binatang.
Kekuatan magis ini juga dapat digunakan untuk menemukan barang yang
hilang, barang curian atau pun menunjukkan si pencuri barang tersebut.
Ada juga yang mempergunakan kekuatan magis ini untuk menguasai alam dan
mendatangkan angin, halilintar, hujan, dan topan.
Sumber Alam dan Potensi Alam
Selain ikan,cucut,kepiting,udang,teripang,ikan penyu,cumi-cumi,dan
hewan lainnya yang melimpah ruah.Daerah Asmat juga memiliki sumber daya
alam yang amat luar biasa,seperti : rotan,kayu,gahar,kemiri,kulit
masohi,kulit lawang,damar,dan kemenyan.
Bencana Yang Di Waspadai
Bencana bagi Suku Asmat kurang lebih ada 3,yaitu ;
- Penyakit Malaria
- Buaya
- HIV/AIDS
Setelah virus HIV/AIDS marak di Asmat dan mulai merenggut korban
jiwa,semakin bertumpuk daftar persoalan yang harus dihadapi PEMDA dan
seluruh masyarakat Asmat.Sebagai sebuah Kabupaten baru yang tengah
sibuk-sibuknya melakukan pembenahan infrastruktur dan segala sesuatu
yang dibutuhkan dalam rangka menyelenggarakan sebuah pemerintahan
baru,dalam berbagi aspek,berjangkitnya HIV/AIDS ini merupakan sebuah
pukulan telak yang bakal menyedot dana,waktu,tenaga,dan pikiran dari
segenap komponen masyarakat Asmat,instansi-instansi terkait dalam
jajaran pemerintahan Kabupaten Asmat khususnya dan sudah pasti butuh
Pemerintah Pusat perlu segera mengambil langkah-langkah
penanggulanggannya.
Mitologi
Dalam hal kepercayaan orang Asmat yakin bahwa mereka adalah
keturunan dewa yang turun dari dunia gaib yang berada di seberang laut
di belakang ufuk, tempat matahari terbenam tiap hari. Menururt
keyakinan orang Asmat, dewa nenek-moyang itu dulu mendarat di bumi di
suatu tempat yang jauh di pegunungan. Dalam perjalanannya turun ke
hilir sampai ia tiba di tempat yang kini didiami oleh orang Asmat
hilir, ia mengalami banyak petualangan. Dalam mitologi orang Asmat yang
berdiam di Teluk Flaminggo misalnya, dewa itu namanya Fumeripitsy.
Ketika ia berjalan dari hulu sungau ke arah laut, ia diserang oleh
seekor buaya raksasa. Perahu lesung yang ditumpanginya tenggelam. Dalam
perkelahian sengit yang terjadi, ia dapat membunuh si buaya, tetapi ia
sendiri luka parah. Ia terbawa arus yang mendamparkannya di tepi sungai
Asewetsy, desa Syuru sekarang. Untung ada seekor burung Flamingo yang
merawatnya sampai ia sembuh kembali; kemudian ia membangun rumah yew
dan mengukir dua patug yang sangat indah serta membuat sebuah genderang
em, yang sangat kuat bunyinya. Setelah ia selesai, ia mulai menari
terus-menerus tanpa henti, dan kekuatan sakti yang keluar dari
gerakannya itu memberi hidup pada kedua patung yang diukirnya. Tak lama
kemudian mulailah patung-patung itu bergerak dan menari, dan mereka
kemudian menjadi pasangan manusia yang pertama, yaitu nenek-moyang
orang Asmat.
Upacara Adat
Ritual/ Upacara suku Asmat yaitu
- Ritual Kematian
Orang Asmat tidak mengenal dalam hal mengubur mayat orang yang telah
meninggal. Bagi mereka, kematian bukan hal yang alamiah. Bila seseorang
tidak mati dibunuh, maka mereka percaya bahwa orang tersebut mati
karena suatu sihir hitam yang kena padanya. Bayi yang baru lahir yang
kemudian mati pun dianggap hal yang biasa dan mereka tidak terlalu
sedih karena mereka percaya bahwa roh bayi itu ingin segera ke alam
roh-roh. Sebaliknya kematian orang dewasa mendatangkan duka cita yang
amat mendalam bagi masyarakat Asmat.
Suku Asmat percaya bahwa kematian yang datang kecuali pada usia yang
terlalu tua atau terlalu muda, adalah disebabkan oleh tindakan jahat,
baik dari kekuatan magis atau tindakan kekerasan. Kepercayaan mereka
mengharuskan pembalasan dendam untuk korban yang sudah meninggal. Roh
leluhur, kepada siapa mereka membaktikan diri, direpresentasikan dalam
ukiran kayu spektakuler di kano, tameng atau tiang kayu yang berukir
figur manusia. Sampai pada akhir abad 20an, para pemuda Asmat memenuhi
kewajiban dan pengabdian mereka terhadap sesama anggota, kepada leluhur
dan sekaligus membuktikan kejantanan dengan membawa kepala musuh
mereka, sementara bagian badannya di tawarkan untuk dimakan anggota
keluarga yang lain di desa tersebut.
Apabila ada orang tua yang sakit, maka keluarga terdekat berkumpul
mendekati si sakit sambil menangis sebab mereka percaya ajal akan
menjemputnya. Tidak ada usaha-usaha untuk mengobati atau memberi makan
kepada si sakit. Keluarga terdekat si sakit tidak berani mendekatinya
karena mereka percaya si sakit akan ´membawa´ salah seorang dari yang
dicintainya untuk menemani. Di sisi rumah dimana si sakit dibaringkan,
dibuatkan semacam pagar dari dahan pohon nipah. Ketika diketahui bahwa
si sakit meninggal maka ratapan dan tangisan menjadi-jadi. Keluarga
yang ditinggalkan segera berebut memeluk sis akit dan keluar rumah
mengguling-gulingkan tubuhnya di lumpur. Sementara itu, orang-orang di
sekitar rumah kematian telah menutup semua lubang dan jalan masuk
(kecuali jalan masuk utama) dengan maksud menghalang-halangi masuknya
roh-roh jahat yang berkeliaran pada saat menjelang kematian.
Orang-orang Asmat menunjukkan kesedihan dengan cara menangis setiap
hari sampai berbulan-bulan, melumuri tubuhnya dengan lumpur dan
mencukur habis rambutnya. Yang sudah menikah berjanji tidak akan
menikah lagi (meski nantinya juga akan menikah lagi) dan menutupi
kepala dan wajahnya dengan topi agar tidak menarik bagi orang lain.
Mayat orang yang telah meninggal biasa diletakkan di atas para
(anyaman bambu), yang telah disediakan di luar kampung dan dibiarkan
sampai busuk. Kelak, tulang belulangnya dikumpulkan dan disipan di atas
pokok-pokok kayu. Tengkorak kepala diambil dan dipergunakan sebagai
bantal petanda cinta kasih pada yang meninggal. Orang Asmat percaya
bahwa roh-roh orang yang telah meninggal tersebut (bi) masih tetap
berada di dalam kampung, terutama kalau orang itu diwujudkan dalam
bentuk patung mbis, yaitu patung kayu yangtingginya 5-8 meter. Cara
lain yaitu dengan meletakkan jenazah di perahu lesung panjang dengan
perbekalan seperti sagu dan ulat sagu untuk kemudian dilepas di sungai
dan seterusnya terbawa arus ke laut menuju peristirahatan terakhir
roh-roh.
Saat ini, dengan masuknya pengaruh dari luar, orang Asmat telah
mengubur jenazah dan beberapa barang milik pribadi yang meninggal.
Umumnya, jenazah laki-laki dikubur tanpa menggunakan pakaian, sedangkan
jenazah wanita dikubur dengan menggunakan pakaian. Orang Asmat juga
tidak memiliki pemakaman umum, maka jenazah biasanya dikubur di hutan,
di pinngir sungai atau semak-semak tanpa nisan. Dimana pun jenazah itu
dikubur, keluarga tetap dapat menemukan kuburannya.
- Ritual Pembuatan dan Pengukuhan Perahu Lesung
Setiap 5 tahun sekali, masyarakat Asmat membuat perahu-perahu
baru.Dalam proses pembuatan prahu hingga selesai, ada berapa hal yang
perlu diperhatikan. Setelah pohon dipilih, ditebang, dikupas kulitnya
dan diruncingkan kedua ujungnya, batang itu telah siap untuk diangkut
ke pembuatan perahu. Sementara itu, tempat pegangan untuk menahan tali
penarik dan tali kendali sudah dipersiapkan. Pantangan yang harus
diperhatikan saat mengerjakan itu semua adalah tidak boleh membuat
banyak bunyi-bunyian di sekitar tempa itu. Masyarakat Asmat percaya
bahwa jika batang kayu itu diinjak sebelum ditarik ke air, maka batang
itu akan bertambah berat sehingga tidak dapat dipindahkan.
Untuk menarik batang kayu, si pemilik perahu meminta bantuan kepada
kerabatnya. Sebagian kecil akan mengemudi kayu di belakang dan
selebihnya menarik kayu itu. Sebelumnya diadakan suatu upacara khusus
yang dipimpin oleh seorang tua yang berpengaruh dalam masyarakat.
Maksudnya adalah agar perahu itu nantinya akan berjalan seimbang dan
lancar.
Perahu pun dicat dengan warna putih di bagian dalam dan di bagian
luar berwarna merah berseling putih. Perahu juga diberi ukiran yang
berbentuk keluarga yang telah meninggal atau berbentuk burung dan
binatang lainnya.Setelah dicat, perahu dihias dengan daun sagu. Sebelum
dipergunakan, semua perahu diresmikan terlebih dahulu. Para pemilik
perahu baru bersama dengan perahu masing-masing berkumpul di rumah
orang yang paling berpengaruh di kampung tempat diadakannya pesta
sambil mendengarkan nyanyi -nyanyian dan penabuhan tifa. Kemudian
kembali ke rumah masing-masing untuk mempersiapkan diri dalam
perlombaan perahu. Para pendayung menghias diri dengan cat berwarna
putih dan merah disertai bulu-bulu burung. Kaum anak-anak dan wanita
bersorak-sorai memberikan semangat dan memeriahkan suasana. Namun, ada
juga yang menangis mengenang saudaranya yang telah meninggal.
Dulu, pembuatan perahu dilaksanakan dalam rangka persiapan suatu
penyerangan dan pengayauan kepala. Bila telah selesai, perahu -perahu
ini dicoba menuju tempat musuh dengan maksud memanas -manasi mereka dan
memancing suasana musuh agar siap berperang. Sekarang, penggunaan
perahu lebih terarahkan untuk pengangkutan bahan makanan.
- Upacara Bis
Upacara bis merupakan salah satu kejadian penting di dalam kehidupan
suku Asmat sebab berhubungan dengan pengukiran patung leluhur (bis)
apabila ada permintaan dalam suatu keluarga. Dulu, upacara bis ini
diadakan untuk memperingati anggota keluarga yang telah mati terbunuh,
dan kematian itu harus segera dibalas dengan membunuh anggota keluarga
dari pihak yang membunuh.
Untuk membuat patung leleuhur atau saudara yang telah meninggal
diperlukan kurang lebih 6-8 minggu. Pengukiran patung dikerjakan di
dalam rumah panjang (bujang) dan selama pembuatan patung berlangsung,
kaum wanita tidak diperbolehkan memasuki rumah tersebut. Dalam
masa-masa pembuatan patung bis, biasanya terjadi tukar-menukar istri
yang disebut dengan papis. Tindakan ini bermaksud untuk mempererat
hubungan persahabatan yang sangat diperlukan pada saat tertentu,
seperti peperangan. Pemilihan pasangan terjadi pada waktu upacara
perang-perangan antara wanita dan pria yang diadakan tiap sore.
Upacara perang-perangan ini bermaksud untuk mengusir roh-roh jahat
dan pada waktu ini, wanita berkesempatan untuk memukul pria yang
dibencinya atau pernah menyakiti hatinya. Sekarang ini, karena
peperangan antar clan sudah tidak ada lagi, maka upacara bis ini baru
dilakukan bila terjadi mala petaka di kampung atau apabila hasil
pengumpulan bahan makanan tidak mencukupi. Menurut kepercayaan, hal ini
disebabkan roh-roh keluarga yang telah meninggal yang belum diantar
ketempat perisitirahatan terakhir, yaitu sebuah pulau di muara sungai
Sirets.
Patung bis menggambarkna rupa dari anggota keluarga yang telah
meninggal. Yang satu berdiri di atas bahu yang lain bersusun dan paling
utama berada di puncak bis. Setelah itu diberikan warna dan diberikan
hiasan-hiasan.Usai didandani, patung bis ini diletakkan di atas suatu
panggung yang dibangun dirumah panjang. Pada saat itu, keluarga yang
ditinggalkan akan mengatakan bahwa pembalasan dendam telah dilaksanakan
dan mereka mengharapkan agar roh-roh yang telah meninggal itu berangkat
ke pulau Sirets dengan tenang. Mereka juga memohon agar keluarga yang
ditinggalkan tidak diganggu dan diberikan kesuburan. Biasanya, patung
bis ini kemudian ditaruh dan ditegakkan di daerah sagu hingga rusak.
- Upacara pengukuhan dan pembuatan rumah bujang (yentpokmbu)
Orang-orang Asmat mempunyai 2 tipe rumah, yaitu rumah keluarga dan
rumah bujang (je). Rumah bujang inilah yang amat penting bagi
orang-orang Asmat. Rumah bujang ini dinamakan sesuai nama marga
(keluarga) pemiliknya. Rumah bujang merupakan pusat kegiatan baik yang bersifat religius
maupun yang bersifat nonreligius. Suatu keluarga dapat tinggal di sana,
namun apabila ada suatu penyerangan yang akan direncanakan atau
upacara-upacara tertentu, wanita dan anak-anak dilarang masuk.
Orang-orang Asmat melakukan upacara khusus untuk rumah bujang yang
baru, yang dihadiri oleh keluarga dan kerabat. Pembuatan rumah bujang
juga diikuti oleh beberapa orang dan upacara dilakukan dengan
tari-tarian dan penabuhan tifa.
0 komentar :
Post a Comment